LinkWithin

https://lh6.googleusercontent.com/-80nacHWVol8/UBVkjziJ8nI/AAAAAAAABkc/a8XuUEbqGIc/s640/Model.jpg

ChatBox

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Sabtu, 11 Juni 2011

Muktazilah di Era Keemasan Islam

Khalifah al-Ma'mun menjadikan Muktazilah sebagai mazhab resmi Kekhalifahan Abbasiyah.


Muktazilah dikenal sebagai aliran teologis yang lebih mengedepankan akal dan bersifat filosofis. Tak heran jika pada awal terbentuk, mazhab yang dicetuskan Wasil bin Ata di Basra, Irak itu sepi pengikut. Mazhab itu sulit diterima masyarakat awam karena bersifat rasional dan filosofis.

Ada pula yang menyebut kaum Muktazilah tak teguh berpegang pada sunah Rasululah SAW dan para sahabat. Aliran teologis ini mulai berkembang di era Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-8 M. Aliran ini mulai berkibar setelah mendapat dukungan dari kalangan intelektual di Baghdad, ketika khalifah Abbasiyah mulai mencurahkan perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan.

Menurut Prof Tsuroya Kiswali dalam Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, puncak kegiatan ilmu pengetahuan di dunia Islam bermula sejak jatuhnya Dinasti Umayyah ke tangan Abbasiyah. "Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, terjadi penerjemahan buku-buku berbahasa asing, terutama Yunani kuno ke dalam bahasa Arab," ujar guru besar bidang Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya itu.

Sejatinya, kata Prof Tsuroya, penerjemahan naskah-naskah asing ke dalam bahasa Arab telah dimulai oleh Khalid bin Yazid, seorang putra khalifah Dinasti Umayyah. Namun, gerakan penerjemahan itu mencapai puncaknya saat Kekhalifahan Abbasiyah dipimpin oleh al-Ma'mun, putra Khalifah Harun ar-Rasyid.

Di masa kepemimpinan Harun ar-Rasyid-khalifah kelima yang berkuasa dari 787 M-810 M-Kekhalifahan Abbasiyah sudah mulai stabil secara politik. Khalifah pun mulai mencurahkan perhatiannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Ia lalu membangun sebuah pusat ilmu pengetahuan di dekat gedung observatorium negara.

Gedung yang fenomenal itu bernama Bait al-Hikmah. Prof Tsuroya menerjemahkannya sebagai Wisma Filsafat. Di tempat itulah para ilmuwan secara gencar melakukan penerjemahan terhadap naskah-naskah berbahasa asing terutama bahasa Yunani.

"Kegiatan ilmiah yang didukung Khalifah Abbasiyah itu menimbulkan revolusi berpikir bebas," papar Prof Tsuroya. Kegiatan penerjemahan naskah-naskah yang berasal dari bahasa Yunani semakin gencar dilakukan pada era pemerintahan Khalifah al-Ma'mun, khalifah ketujuh Dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada 813-833 M.

Menurut Ensiklopedi Islam, Khalifah al-Ma'mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filasafat. Pemerintahan al-Ma'mun membiayai seluruh proyek penerjemahan karya-karya dari bahasa asing ke dalam bahasa Arab.

Khalifah menghimpun para penerjemah ulung dari berbagai daerah. Mereka dibayar dengan gaji yang sangat besar. Untuk mewujudkan impiannya, yakni menjadikan Abbasiyah sebagai pusat peradaban dunia, al-Ma'mun juga tak mengirimkan utusan khusus ke Konstantinopel guna mencari buku-buku filsafat.

Di era inilah aliran teologis Muktazilah mendapatkan ruang untuk berkembang. Sebab, kaum Muktazilah dikenal sebagai kaum atau kelompok pemikir Muslim yang menyambut kebijakan Pemerintah Abbasiyah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Terlebih lagi, Khalifah al-Ma'mun adalah seorang penganut aliran yang dikembangkan Wasil bin Ata itu.

Secara khusus, Khalifah al-Ma'mun menjadikan Muktazilah sebagai mazhab resmi Kekhalifahan Abbasiyah. Bahkan, al-Ma'mun menjadi pembela utama aliran Muktazilah. Sayangnya, kejayaan Muktazilah dan berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam ternoda dengan adanya pemaksaan terhadap penganut aliran teologis lain.

Pemaksaan ajaran Muktazilah itu dikenal sebagai peristiwa mihnah. "Peristiwa ini timbul sehubungan dengan paham-paham khalq Alquran," tulis Ensiklopedi Islam. Kaum Muktazilah berpendapat bahwa Alquran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Menurut Muktazilah, Alquran itu mahluk, ciptaan Tuhan. Karena diciptakan, dalam pandangan mereka, Alquran itu sesuatu yang baru, tidak qadim.

"Jika Alquran itu dikatakan qadim, ada yang qadim selain Allah SWT, dan berarti itu hukumnya musyrik," demikanlah salah satu doktrin Muktazilah. Khalifah al-Ma'mun lalu memerintahkan agar seluruh aparat pemerintahan Ababasiyah terutama para hakim dilitsus (diteliti secara khusus) melalui mihnah.

Setiap pejabat atau hakim yang tak meyakini Alquran sebagai sesuatu yang diciptakan Allah dan bersifat baru, terancam dipecat bahkan dihukum. Dalam prosesnya, mihnah tak hanya berlaku bagi aparat pemerintah dan hakim. Para ulama dan tokoh masyarakat pun dilitsus.

Salah seorang ulama besar yang sempat menghadapi mihnah dari rezim al-Ma'mun adalah Imam Hanbali. Meski diperiksa dalam tekanan, Imam Hambali menyatakan bahwa Alquran bersifat qadim, bukan sesutu yang bersifat baru. Nyaris saja, Imam Hambali dihukum mati.

Pemerintahan al-Ma'mun hanya menjebloskan Imam Hambali ke dalam penjara karena sang ulama besar itu memiliki pengikut yang banyak. Jika dihukum mati, pihak penguasa mengkhawatirkan terjadi kekacauan. Ensiklpedi Islam mencatat, ulama yang tak sepaham dengan Muktazilah, yakni al-Khuzzai dan al-Buwaiti, dihukum mati.

Dua khalifah sepeninggal al-Ma'mun, yakni al-Mu'tasim, yang berkuasa dari 833-842 M, masih menjadikan Muktazilah sebagai mazhab resmi negara. Begitu juga penggantinya, al-Wathiq, yang berkuasa dari 842-847 M, juga tetap mengembangkan paham Muktazilah.

Dominasi Muktazilah berakhir pada zaman al-Mutawakkil, khalifah ke-10 Abbasiyah yang berkuasa pada 847- 861 M. Berbeda dengan pendahulunya, al-Mutawakkil adalah seorang penganut Sunni atau Ahlusunah Waljamaah. Ia lalu membubarkan paham Muktazilah sebagai mazhab resmi pemerintahan Abbasiyah.

Aliran Sunni pun mendapat angin segar. Para pengikut Sunni tampil dan bangkit. Sayangnya, ketika itu kejayaan Dinasti Aabbasiyah sudah mulai meredup. Hal itu sebagai imbas dari kebijakan Khalifah al-Mu'tasim yang memberikan peluang bagi orang-orang Turki untuk duduk dalam pemerintahan. Periode ini dikenal sebagai pengaruh Turki pertama dalam Kekhalifahan Abbasiyah.

Pada zaman itu, Abbasiyah mulai melemah, terjadi disintegrasi pada wilayah-wilayah kekuasaan sang adidaya. Aliran Muktazilah belum sepenuhnya tenggelam. Pada 945-1055 M, Kekhalifahan Abbasiyah dikendalikan oleh Dinasti Buwaihi. Dinasti ini, meski Syiah, namun mendukung aliran Muktazilah. Sehingga, ilmu pengetahuan sempat berkembang kembali selama 110 tahun di Baghdad.

Namun, ketika Dinasti Seljuk mengendalikan kekuasaan, paham Muktazilah kehilangan peran. Dinasti Seljuk mengembangkan paham Asy'ariyah. Sejak itulah, Muktazilah tergeser dari panggung peradaban dan akhirnya tenggelam. Paham ini mulai berkembang lagi pada abad ke-20 M, setelah berbagai karya Muktazilah ditemukan.


Baitulhikmah dan Peran Intelektual Muktazilah

Oleh Heri Ruslan, Rosyid Nurul Hakim

Era keemasan Islam di Baghdad, pusat pemerintahan Abbasiyah, ditandai dengan berkembangnya ilmu agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Khalifah mendorong para ulama dan sarjana untuk berlomba-lomba mengkaji ilmu. Dengan tawaran gaji, fasilitas, dan hadiah yang besar, para sarjana Islam menerjemahkan sederet karya-karya ilmiah dari Yunani, Persia, Syria, dan Koptik ke dalam bahasa Arab.

Gerakan penerjemahan itu berlangsung selama 100 tahun. Awalnya, pendidikan dilaksanakan di masjid atau di rumah-rumah. Para ulama mengajar dengan sistem halaqah (pertemuan). Waktu itu beberapa masjid sudah dilengkapi dengan perpustakaan. Lembaga pendidikan dasar-menengah disebut kuttab.

Kekuatan penuh kebangkitan Timur mulai tampak setelah Baitulhikmah yang didirikan Khalifah Harus Ar-Rasyid sebagai lembaga penerjemah, berkembang menjadi perguruan tinggi, perpustakaan, dan lembaga penelitian pada era Khalifah al-Ma'mun.

Baitulhikmah memiliki koleksi ribuan judul ilmu pengetahuan. Perpustakaan besar itu didesain khusus. Di dalamnya terdapat sebuah ruang baca yang sangat nyaman. Tak hanya itu, Baitulhikmah juga menjadi tempat-tempat tinggal bagi para penerjemah. Secara rutin, para ilmuwan menggelar diskusi-diskusi ilmiah. Baitulhikmah juga digunakan sebagai tempat pengamatan bintang.

Kehadiran Baitulhikmah dan peran para intelektual yang menganut aliran Muktazilah telah mendorong Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, ilmu kesusasteraan, dan syariat Islam di seluruh kerajaan Islam termasuk dunia. Al-Ma'mun, sebagai khalifah yang mendukung aliran Muktazilah, mempercayakan tugas penerjemahan di Baitulhikmah kepada Yahya bin Abi Mansur serta Qusta bin Luqa, Hunain bin Ishaq, dan Sabian Sabit bin Qurra.

Ketika al-Ma'mun mendirikan Baitulhikmah, ia sempat mengirimkan utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani kuno untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada tahap awal, para ilmuwan di Baitulhikmah menerjemahkan karya-karya bidang kedokteran dan filsafat.

Setelah itu, karya-karya dalam bidang matematika, astrologi, dan ilmu bumi mendapat perhatian. Prestasi yang menonjol yang dihasilkan para sarjana di lembaga itu adalah penemuan susunan peta bumi. Pada masa itu juga diketahui cara menentukan arah kiblat bagi umat Islam untuk melaksanakan shalat.

Ghirah ilmu pengetahuan dan agama di era keemasan Dinasti Abbasiyah itu telah melahirkan sederet sarjana dan ilmuwan besar yang berpengaruh, seperti al-Kindi. Pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di Baghdad turut mewarnai dan berpengaruh terhadap kota-kota lain seperti Kairo, Basra, Kufah, Damaskus, Samarkand, Bukhara, serta Khurasan. Para pelajar datang dari berbagai wilayah ke Baghdad, kemudian mengembangkan pengetahuan di tanah kelahiran mereka masing-masing.

Sumber:
http://koran.republika.co.id/koran/153/136399/Muktazilah_di_Era_Keemasan_Islam

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites